PENDAHULUAN
Latar Belakang
Karya
sastra hadir dan menjadi saksi dari peradaban suatu masyarakat yang dinamis.
Karya sastra sebagai suatu hasil dari karya kreatif pengarang tentunya bersifat
subjektif imajinatif. Cerpen dalam hal ini merupakan suatu karya sastra
berbentuk prosa yang merupakan
totalitas secara menyeluruh yang bersifat artistik. Cerpen atau
cerita pendek sebagai suatu karya seni berfungsi sebagai notulen kehidupan.
Sebagai dokumentasi, cerpen bagaikan cermin yang memperlihatkan peristiwa
tersebut. Hubungan dialektis antara
cerpen dan realitas membuktikan bahwa cerpen juga dapat dianalisis dari
berbagai sudut, seperti filosofis, religi, sosiologi, budaya dan stilistika.
Melalui pendekatan stilistika, penulis mencermati beberapa fenomena yang
disebutkan diatas, khususnya hal yang berhubungan dengan peristiwa kehidupan
manusia. Hubungan dialektis antara cerpen dan realitas membuktikan bahwa cerpen
juga dapat dianalisis dari berbagai sudut, seperti filosofis, religi,
sosiologi, budaya dan stilistika. Dengan menggunakan piranti stilistika, akan
disusun mengenai gaya penokohan pada cerpen “Protes” karya Putu Wijaya.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah cerpen “Protes” karya Putu Wijaya?
2.Bagaimanakah gaya pemilihan
tokoh cerpen “Protes” karya Putu Wijaya ?
3. Bagaimanakah gaya penggambaran watak para tokoh cerpen
“Protes” karya Putu Wijaya ?
4. Bagaimanakah gaya penggambaran konflik para tokoh cerpen
“Protes” karya Putu Wijaya ?
Tujuan
1. Untuk mengetahui gaya pemilihan tokoh
cerpen “Protes” karya Putu Wijaya
2. Untuk mengetahui
gaya penggambaran watak para tokoh cerpen “Protes” karya Putu Wijaya
3. Untuk mengetahui
gaya penggambaran konflik para tokoh cerpen “Protes” karya Putu Wijaya
PEMBAHASAN
Cerpen “Protes” Karya
Putu Wijaya
Orang kaya di ujung jalan itu jadi
bahan gunjingan. Masyarakat gelisah. Pasalnya, ia mau membangun gedung tiga
puluh lantai.
Ia sudah membeli puluhan hektar rumah dan lahan
penduduk di sekitarnya. Di samping apartemen, rencananya akan ada hotel, pusat
perbelanjaan, lapangan parkir, pertokoan, kolam renang, bioskop, warnet, kelab
malam, dan kafe musik.
“Kenapa mesti ribut. Ini, kan, rumah saya, tanah saya,
uang saya?” kata Baron sambil senyum. “Apa salahnya kita membangun? Positif,
kan?! Ini, kan, nanti bisa memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Jadi karyawan, jadi satpam, jadi tukang parkir, dan sebagainya. Paling malang
bisa meningkatkan hunian kita yang mati ini jadi ramai. Itu berarti harga lahan
akan melonjak. Semua akan diuntungkan! Kok aneh! Harusnya masyarakat berterima
kasih dong pada niat baik ini! Kok malah kasak-kusuk! Bilang kita merusak
lingkungan. Itu namanya fitnah! Coba renungkan, nilai dengan akal sehat! Semua
ini, kan, ada aspek sosialnya! Berguna untuk kesejahteraan kita bersama! Tidak
bertentangan dengan Pancasila. Membangun itu bukan hanya tugas pemerintah.
Negara yang sehat itu, masyarakatnya, rakyatnya aktif, dinamis, banting tulang,
ikut serta membangun tanpa diperintah. Membangun karena diperintah itu, kan,
watak pemalas. Karakter orang jajahan. Kita, kan, sudah 69 tahun merdeka. Kita
harus membina karakter kita. Arti kemerdekaan adalah: sejak detik merdeka itu,
nasib kita ke depan adalah tanggung jawab kita sendiri. Kalau kita mau hidup
layak, harus bekerja. Kalau mau maju, harus membangun. Kalau mau membangun,
buka mata, buka baju, buka sepatu, buka kepala batu, singsingkan celana,
bergerak, gali, cangkul, tembus semua barikade, jangan tunggu perintah. Tidak
ada yang akan memerintah kita lagi, apalagi menolong, setelah kita merdeka!
Hidup kita milik kita dan adalah tanggung jawab kita. Karena tanggung jawab
kita, semua mesti dilakukan sendiri. Hidup itu kumpulan masa lalu, masa kini,
dan masa depan seperti yang ditulis penyair WS Rendra. Semuanya harus dipikirin
dan dipikul sendiri! Itu baru namanya merdeka dalam artinya yang sejati! Betul
tidak, Pak?!”
Amat yang sengaja diundang makan malam, untuk
berembuk, hanya bisa mengangguk. Bukan membenarkan, juga bukan menyanggah. Ia
baru sadar kedatangannya hanya untuk dijadikan tong sampah curhat Baron.
“Pak Amat, kan, tahu sendiri, saya ini orang yang
sangat memikirkan kebersamaan. Di hunian kita ini, rasanya makin lama sudah
semakin sumpek. Karena membangun hanya diartikan membuat bangunan. Akibatnya
sawah, apalagi taman, tergerus, tidak ada ruang bebas untuk bernapas lagi. Hari
Minggu, hari besar, hari raya, waktu kita duduk di rumah untuk beristirahat,
rasanya sumpek. Di mana-mana gedung. Burung hidup dalam sangkar, kita dalam tembok!
Tidak ada pemandangan, tempat pandangan kita lepas. Betul, tidak? Karena itu,
perlu ada paru-paru buatan supaya hidup kita tetap berkualitas! Kan saya yang
memelopori pendirian taman, alun-alun, sekolah, dan tempat rekreasi di
lingkungan kita ini. Sebab tidak cukup hanya raga yang sehat, jiwa juga harus
segar. Begitu strategi saya dalam bermasyarakat, tidak boleh hanya enak
sendiri, kita juga harus, wajib, membuat orang lain bahagia. Dengan begitu
kebahagiaan kita tidak akan berkurang oleh keirian orang lain, karena
ketidakbahagiaan orang lain. Demokrasi ekonomi itu, kan, begitu. Itulah yang
selalu saya pikirkan dan realisasikan dalam hidup bermasyarakat. Tapi kok
sekarang, kok saya dianggap tak punya tepo sliro dengan lingkungan. Ck-ck-ck!
Coba renungkan, pembangunan yang sedang saya laksanakan ini, kan, bukan
semata-mata membangun! Di baliknya ada visi dan misi! Apa itu? Tak lain dan tak
bukan untuk mendorong kita semua, sekali lagi mendorong, kita semua, masyarakat
semua, bukan hanya si Baron ini. Kita semua! Supaya kita semua bersama-sama
serentak, take off, berkembang, maju, sejahtera, dan nyaman! Masak sudah
69 tahun merdeka kita masih makan tempe terus! Lihat Korea dong, tebar mata ke
sekitar, simak Pondok Indah, Bumi Serpong Damai, Central Park. Mana ada lagi
rumah-rumah BTN yang sangat, sangat sederhana. Kandang tikus itu bukan hunian
orang merdeka! Ah?! Semua sudah direnovasi habis jadi masa lalu yang haram
kembali lagi. Rata-rata sekarang rumah satu miliar ke atas! Itu baru layak buat
rakyat merdeka! Ah?! Tapi apa semua itu bim-sala-bim, abra-ca dabra,
jatuh begitu saja tiba-tiba dari langit? Tidak Bung! Itulah hasil kemajuan.
Itulah dialektika kemerdekaan yang seharusnya! Karena kemerdekaan membuat kita
tidak puas hanya nrimo, hanya pasrah, tapi kita harus beringas, bergegas
mengusai, tidak puas hanya nrimo apa vonis nasib. Maka wajib banting
tulang, buru, rebut, rampas, buaskan ambisi! Itu sah! Kesenjangan sosial kalau
disikapi dengan ramah-tamah, akan mengunyah. Maka harus ambil risiko berontak! Iri,
dendam, sirik, penting untuk membuat penasaran, lalu bangkit dan menang! Putar
otak, cari jalan, kalau tidak ada, bikin. Segala cara halal dengan sendirinya,
asal buntutnya berhasil. Walhasil, agama kita, ibaratnya sekarang, sukses!
Tidak ada lagi yang gratis. Menghirup udara pun mesti bayar! Maksud saya udara
segar dalam kamar hotel bintang lima! Benar tidak Pak Amat? Ha-ha-ha!!”
Amat mencoba untuk menjawab, sebab kalau diam-diam
saja, sebagai tamu, terasa kurang sopan. Tapi sebelum mulutnya sempat terbuka,
Baron sudah memotong.
“Ya, saya memang membangun karena punya uang Pak Amat.
Tapi uang itu bukan jatuh dari surga. Bukan menang lotre. Bukan warisan,
apalagi korupsi! Bukan dan bukan dan bukan lagi! Itu uang hasil kerja
mati-matian. Kenapa? Karena saya ingin maju. Kenapa saya ingin maju, karena
saya kerja keras! Itu lingkaran setan! Hidup harus diarahkan jadi lingkaran
setan kemajuan! Kalau mau maju, harus kerja keras. Kalau kerja keras pasti
maju! Kalau tidak begitu mana mungkin saya kaya? Tapi apa salahnya kaya? Apa
orang berdosa kalau kaya? Tidak kan??? Tidak! Tapi sebenarnya saya tidak kaya,
Pak Amat, orang-orang itu salah kaprah! Orang kaya itu, orang yang menaburkan
uangnya, di mana-mana. Misalnya itu mereka yang bakar duit dengan merokok, main
petasan, membagi-bagikan duitnya dengan dalih demi kemanusiaan dan kepedulian
sosial, yang bikin orang tambah malas! Saya tidak, saya sangat cerewet
mengawasi tiap sen yang keluar dari kantong, bahkan tiap sen yang masuk perut
saya sendiri. Kalau bisa jangan satu sen pun ada duit saya yang keluar. Uang
yang saya pakai membangun itu, bukan uang sendiri, itu utang semua! Utang!
Paham?”
“Tidak.”
“Tidak usah paham! Saya juga tidak paham! Tapi itulah
faktanya! Orang kaya itu tidak kelebihan duit! Yang kelebihan duit itu kere!?
Tapi jangan salah! Masyarakat selalu keblinger! Mereka senang bermimpi! Saya
bukan orang kaya Pak Amat. Tapi orang yang sangat kaya! Kaya utang! Apa saya
kelebihan duit? Tidak! Duit saya tidak ada! Pembangunan ini kredit bank,
jaminannya kepala saya, kepala anak-bini saya! Kalau saya salah perhitungan,
kami semua akan hidup tanpa kepala! Tapi saya tidak takut. Yah sebenarnya takut
juga. Tapi kalau kita memanjakan takut, kalau kita memanjakan takut, kita akan
ditelan iblis. Saya tidak mau ditelan mentah-mentah. Saya yang harus menelan.
Tuhan memberikan saya tangan, kaki, badan dan otak untuk bukan, bukan saja
menelan, tapi mengunyah nasib dan iblis-iblis itu. Sehingga seperti kata
pepatah: tiada batang akar pun berguna! Ya, sebenarnya saya takut juga, Pak
Amat. Siapa yang bisa bebas dari rasa takut! Saya ini manusia biasa yang tak
bebas dari takut, Pak Amat! Tapi tidak semua takut itu jelek. Ada takut yang
membuat waspada, takut yang bikin mawas diri dan berani. Ada takut yang
menyebabkan kita tidak takut. Takut yang membuat kita menyerang garang. Takut
itu tidak semuanya takut. Takut itu penting. Asal kita tidak mabok, kapan harus
takut, kapan pura-pura takut. Kapan takut untuk nekat. Yang saya haramkan satu:
jangan jadi penakut! Karena itu pembangunan saya ini harus dilanjutkan. Oke,
sekarang Pak Amat tahu, saya kelihatannya saja asosial, padahal saya sosialis.
Amat sangat peduli sekali pada warga. Saya ingin semua kita di sini maju.
Jangan, kalau ada orang punya duit, padahal itu karena dia banting tulang, lalu
iri, sewot, sirik, menuduh orang itu kurang peka lingkungan. Itu yang terjadi
sekarang. Makanya saya ngajak bangkit! Ayo Bung! Jangan baru bisa beli motor
sudah merasa masuk surga. Baru bisa ketawa sudah merasa dicintai Yang kuasa. Tidak!
Jangan! Banyak yang harus dicapai! Kita harus tamak! Semua orang wajib
menyadari dirinya masih kere, di jambrut khatulistiwa ini! Bangun, marah!
Jangan marah sama saya-marahi nasib! Jangan takut pada perubahan. Takutilah
takut! Ambil risiko! Perubahan itu berkah, cabut uban, berhenti cari kutu!
Aahhh, capek saya menghadapi orang-orang kecil yang kampungan!! Risih! Mau
wine, Pak Amat?”
Amat pulang dengan kepala penuh sesak. Rasanya tak ada
sisa ruang lagi di kepalanya untuk santai. Baron sudah berjejal-jejal di
otaknya.
“Baigamana, Pak? Sudah?” tanya Bu Amat.
“Sudah.”
“Apa katanya?”
Amat bercerita mengulang seingatnya, apa yang sudah
dikatakan Baron.
“Terus Bapak bilang apa?”
“Ya, tidak membantah.”
“Lho kok, tidak? Kan hajatnya ke situ mau menyampaikan
protes warga?!”
“Begini, Bu, Baron itu, ibaratnya pohon. Kalau
dipangkas nanti malah makin meranggas!”
“Tapi pesan warga sudah disampaikan, belum?”
Amat berpikir.
“Kok mikir? Sudah atau belum?”
“Ya. Tapi dengan cara lain.”
“Masudnya?”
“Ya begitu. Semua pertimbangannya, tak cerna,
sebenarnya cukup masuk akal dan bisa dimengerti. Tapi seperti makan, meskipun
steak tenderloin daging sapi impor, buat orang yang sudah kenyang bisa bikin
muntah. Tapi buat orang yang buka puasa, jangankan makanan steak tenderloin,
teh manis pun seperti air surga!”
“Dan Baron mengerti?”
“Nah itu dia. Pengertian itu relatif. Ibaratnya siaran
berita. Buat pesawat yang canggih pasti jelas, tapi buat pesawat butut, apalagi
tambah cuaca buruk, yang kedengaran pasti hanya kresek-kresek!”
Bu Amat bingung.
“Maksudnya apa?”
“Ya, seperti black campaign, di masa pemilu,
buat pendukung lawan, akan terasa fitnah keji, tapi buat pendukung yang
bersangkutan, justru lelucon segar!”
Bu Amat mulai kesal.
“Pak Baronnya nyadar tidak?”
“Nah itu masalahnya.”
“Kok itu masalahnya? Masalah apaan?”
“ Ya itu, apa si Baron bisa ngerti tidak!”
“Ya pasti harusnya ngerti, Pak! Baron itu kan bukan
orang bodoh. Katanya dia punya gelar doktor dari California, meskipun kabarnya
itu beli. Apalagi sekarang sudah terpilih jadi wakil rakyat. Tapi apa
tanggapannya pada protes kita? Masak tidak tahu, kalau apartemen, kompleks
perbelanjaannya benar-benar berdiri, pasar tradisional kita akan mati. Ratusan
orang akan kehilangan mata pencahariannya. Apalagi kalau warnet, cafe musik dan
lain-lainnya jalan, pemuda-pemuda kita akan keranjingan nongkrong di situ ngerumpi,
lihat video dan gambar-gambar porno. Hunian kita yang dipujikan asri dan
tenteram ini akan ramai dan kumuh. Masak Baron tidak tahu itu? Kalau tidak
tahu, percuma bernama Doktor Baron! Pasti pura-pura tidak tahu!”
Amat berpikir. Hampir saja Bu Amat mendamprat lagi.
Amat keburu menjawab:
“Mungkin saja dia tidak tahu, Bu. Seperti kata
pepatah: Dalam lubuk bisa diduga, dalam ….”
“Jangan petatah-petitih terus! Kalau dia tidak ngerti,
pasti karena Bapak ngelantur ke sana-kemari menyampaikannya. Terlalu banyak
pepatah akhirnya lupa apa yang harus disampaikan!”
“Kalau lupa sih, tidak. Hanya …”
“Hanya apa?”
“Dia mungkin berpura-pura tidak mengerti.”
“Tidak mungkin! Bapak belum ngomong pun, dia sudah
tahu, bahwa kita, penduduk di sini semuanya menolak!”
“Tapi harus dinyatakan dengan tegas. Dengan surat
resmi, misalnya yang kita tanda-tangani bersama!”
“Kalau betul begitu, kalau dia mau kita bikin surat
resmi, sekarang pun bisa. Bapak bikin suratnya sekarang, nanti saya minta Pak
Agus mengedarkan supaya semua warga tanda tangan! Kalau tidak mau dijitak. Coba
apa saja yang sudah Bapak katakan kepada Pak Baron?”
“Semua.”
“Sudah dikatakan bawa kita semua hampir digusur dengan
menawarkan tebusan ganti rugi satu meter tanah 15 juta. Tapi kita menolak
mentah-mentah. Masak hunian kita mau dijadikan….”
“Dijadikan hotel dan apartemen!”
“Betul!”
“Mau dijadikan pusat perbelanjaan?”
“Betul. Sudah disampaikan juga bahwa kita warga bukan
tidak bisa bikin rumah bertingkat, tapi karena menjaga perasaan banyak warga
yang tidak mampu? Di samping itu di kompleks kita ini kan ada peninggalan
sejarah, karena di sinilah dulu para gerilyawan di masa revolusi bertahan.
Rumah-rumahnya tetap kita pelihara sekarang sebagai monumen.”
Amat berpikir lagi.
“Sudah belum? Sudah disampaikan juga bahwa hunian kita
ini air sumurnya paling bersih dapat diminum langsung sementara air di hunian
lain di sekitar sudah keruh dan asin? Sudah disampaikan ….”
“Kalau itu belum.”
“Tapi dasar keberatan dan protes-protes kita yang
lain-lain, sudah kan?”
“Kembali lagi apa dia cukup peka atau tidak.”
“Salah. Pak Baron itu peka. Masalahnya bagaimana Bapak
menyampaikannya!”
“Ya, itu dia!”
Bu Amat terkejut.
“Itu dia bagaimana? Bapak menyampaikannya bagaimana?”
“Seperti kata pepatah: diam itu emas.”
“Ah? Bagaimana?!”
“Dengan diam seribu bahasa.”
Malam hari, ketika keadaan tenang, Bu Amat pasang
omong. Amat pun tahu apa yang mau dikatakan istrinya. Tapi ia sabar
mendengarkan.
“Dengerin, Pak, jangan belum apa-apa sudah langsung
membantah. Renungkan saja, apa yang saya katakan. Saya akan mengatakan satu
kali saja. Paham?”
Amat mengangguk.
“Begini. Bagi orang besar, diam itu memang emas.
Karena, orang besar itu, sudah banyak berbuat dan berkata. Meskipun ia diam,
kata-kata dan perbuatan yang sudah pernah dibuatnya sudah menyampaikan
tanggapannya. Orang sudah tahu apa yang tak diucapkannya. Itu bedanya dengan
kita, orang kecil. Kita kalau diam berarti bego. Menyerah. Atau manut-manut
saja. Mau ke kanan, boleh. Ke kiri, juga monggo. Diam itu ya, kosong melompong.
Tidak ada yang tahu apa isi hati kita. Jangankan diam, kita ngomong sampai
mulut robek dan perut gembung juga orang tidak mendengar apa mau kita
sampaikan. Bapak sadar itu, kan?”
Amat mengangguk.
“Makanya, kalau nyadar kita ini orang kecil,
ngomonglah. Keluarkan isi hati. Kalau tidak, pendapat orang lain akan
diicantolkan kepada kita. Mau? Mau memikul pendapat cantolan yang bertentangan
dengan pendapat Bapak? Tidak kan? Kalau tidak, kenapa diam? Apa susahnya
ngomong? Atau Bapak takut? Takut apa? Takut itu perlu, kalau perlu. Kalau
salah, boleh takut. Apa Bapak salah? Tidak kan?! Salah apa?! Apa salahnya
bertanya, Bapak kan mewakili warga. Bapak dipercaya untuk menyampaikan isi hati
mereka. Bapak penyambung lidah rakyat di lingkungan kita ini. Meskipun tidak
dipilih seperti caleg-caleg itu dan tidak diangkat secara resmi. Bapak juga
memang tidak disumpah untuk mewakili warga. Tapi begitu Bapak masuk rumah Pak
Baron, semua orang Bapak wakili. Begitu Bapak keluar, mereka menuntut, apa
hasilnya. Jadi kalau besok ada pertanyaan, hasilnya, apa yang harus saya
jawab?”
Sebenarnya Amat bisa menjawab. Tapi ia memilih diam,
karena tak ingin memotong curhat istrinya.
Karena lama tak ada jawaban, Bu Amat melanjutkan.
“Saya tahu apa yang Bapak pikirkan. Masak tidak.
Puluhan tahun kita hidup bersama, saya dengar semua yang ada dalam hati
kecilmu. Kamu bicara meskipun diam. Ngerti?”
Amat terkejut. Itu dia yang tidak ia pahami. Kalau
istrinya saja mengerti isi hatinya, tanpa harus diucapkan, masak Baron yang
doktor itu tidak. Jauh di sana dalam lubuk hati istrinya, terasa perih ketika
ia bilang orang kecil diamnya tak bicara.
Setelah memijit kaki istrinya, sampai tertidur, Amat
berbisik: “Orang kecil yang diam juga emas, Bu, kalau memang emas.”
Tanpa membuka mata, Bu Amat menjawab lirih: “Tetangga
kasak-kusuk Bapak diangkat jadi kepala proyek dengan gaji 50 juta.” (*)
Putu Wijaya, sastrawan produktif yang telah menulis
ratusan cerpen, novel dan naskah drama. Putu berkali-kali menjadi pemenang
sayembara penulis novel dan lakon Dewan Kesenian Jakarta. Ia menerima SEA Write
Award 1980 di Bangkok.
Gaya Pemilihan Tokoh Cerpen “Protes” Karya Putu Wijaya
Yang dimaksud gaya pemilihan tokoh cerpen adalah cara-cara
bagaimana tokoh dipilih untuk mengembangkan cerpen, dilihat dari sisi jenis
kelamin, usia, keadaan fisik, latar belakang pendidikan, ekonomi, golongan
sosial, dan sebagainya. Berikut adalah tokoh-tokoh dalam cerpen ini :
1.
Baron berjenis kelamin laki-laki, mempunyai gelar pendidikan S3, dengan tingkat
ekonomi kaya, dan golongan sosialnya sebagai seorang pebisnis.
2.
Pak Amat berjenis kelamin laki-laki, tidak bergelar pendidikan, berada di
tingkat ekonomi miskin, dan golonan sosial rakyat biasa.
3.
Bu Amat berjenis kelamin perempuan, tidak bergelar pendidikan, berada ditingkat
ekomnomi miskin, dan golongan sosial rakyat biasa.
Gaya Penggambaran
Watak Para Tokoh Cerpen “Protes” Karya Putu Wijaya
Yang dimaksud gaya penggambaran watak tokoh cerpen adalah
cara-cara bagaimana tokoh tergambarkan atau teridentifikasikan, dilihat dari
penggambaran melalui penjelasan, pendeskripsian tingkah laku dan tindakan, cara
mereaksi stimulus, dan sebagainya.
1.
Baron
Berikut melalui cara mereaksi stimulus :
“Saya tidak, saya sangat cerewet mengawasi tiap sen yang
keluar dari kantong, bahkan tiap sen yang masuk perut saya sendiri. Kalau bisa
jangan satu sen pun ada duit saya yang keluar. “
Melalui
dialog : “...Mana ada lagi rumah-rumah BTN yang sangat, sangat sederhana. Kandang tikus
itu bukan hunian orang merdeka! Ah?! Semua sudah direnovasi habis jadi masa
lalu yang haram kembali lagi. Rata-rata sekarang rumah satu miliar ke atas! Itu
baru layak buat rakyat merdeka! Ah?! Tapi apa semua itu bim-sala-bim, abra-ca
dabra, jatuh begitu saja tiba-tiba dari langit? Tidak Bung! Itulah hasil
kemajuan. Itulah dialektika kemerdekaan yang seharusnya! Karena kemerdekaan
membuat kita tidak puas hanya nrimo, hanya pasrah, tapi kita harus beringas,
bergegas mengusai, tidak puas hanya nrimo apa vonis nasib. Maka wajib
banting tulang, buru, rebut, rampas, buaskan ambisi! Itu sah! Kesenjangan
sosial kalau disikapi dengan ramah-tamah, akan mengunyah. Maka harus ambil
risiko berontak! Iri, dendam, sirik, penting untuk membuat penasaran, lalu
bangkit dan menang! Putar otak, cari jalan, kalau tidak ada, bikin. Segala cara
halal dengan sendirinya, asal buntutnya berhasil. Walhasil, agama kita,
ibaratnya sekarang, sukses! Tidak ada lagi yang gratis. Menghirup udara pun
mesti bayar! Maksud saya udara segar dalam kamar hotel bintang lima! Benar
tidak Pak Amat? Ha-ha-ha!!”
Melalui kutpian
cara mereaksi stimulus dan melalui dialog diatas dapat diketahui watak Baron
yaitu sebagai seorang yang egois, keras kepala, pelit dan licik.
2. Pak Amat
“Ya begitu.
Semua pertimbangannya, tak cerna, sebenarnya cukup masuk akal dan bisa
dimengerti. Tapi seperti makan, meskipun steak tenderloin daging sapi impor,
buat orang yang sudah kenyang bisa bikin muntah. Tapi buat orang yang buka
puasa, jangankan makanan steak tenderloin, teh manis pun seperti air surga!”
Kutipan diatas
melalui dialog tokoh dengan tokoh lain sehingga dapat diketahui watak pak Amat
yaitu sabar dan bijak.
3. Bu Amat
“Bu Amat mulai kesal.”
“Jangan petatah-petitih terus!
Kalau dia tidak ngerti, pasti karena Bapak ngelantur ke sana-kemari
menyampaikannya. Terlalu banyak pepatah akhirnya lupa apa yang harus
disampaikan!”
“Tapi harus dinyatakan dengan
tegas. Dengan surat resmi, misalnya yang kita tanda-tangani bersama!”
“Kalau betul begitu, kalau dia
mau kita bikin surat resmi, sekarang pun bisa. Bapak bikin suratnya sekarang,
nanti saya minta Pak Agus mengedarkan supaya semua warga tanda tangan! Kalau
tidak mau dijitak. Coba apa saja yang sudah Bapak katakan kepada Pak Baron?”
Kutipan diatas
melalui dialog. Sehigga dapat diketahui watak bu Amat yaitu emosional dan
tegas.
Gaya Penggambaran Konflik
Para Tokoh Cerpen “Protes” Karya Putu Wijaya
Yang dimaksud gaya penggambaran konflik tokoh adalah cara-cara bagaimana
konflik para tokoh digambarkan, dilihat dari lawan konflik, macam konflik,
masalah yang dikonflikkan, dan sebagainya.
1. Baron :
“Kenapa mesti ribut. Ini, kan, rumah saya, tanah saya,
uang saya?” kata Baron sambil senyum. “Apa salahnya kita membangun? Positif,
kan?! Ini, kan, nanti bisa memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Jadi karyawan, jadi satpam, jadi tukang parkir, dan sebagainya. Paling malang
bisa meningkatkan hunian kita yang mati ini jadi ramai. Itu berarti harga lahan
akan melonjak. Semua akan diuntungkan! Kok aneh! Harusnya masyarakat berterima
kasih dong pada niat baik ini! Kok malah kasak-kusuk! Bilang kita merusak
lingkungan. Itu namanya fitnah! Coba renungkan, nilai dengan akal sehat! Semua
ini, kan, ada aspek sosialnya! Berguna untuk kesejahteraan kita bersama! Tidak
bertentangan dengan Pancasila. Membangun itu bukan hanya tugas pemerintah.
Negara yang sehat itu, masyarakatnya, rakyatnya aktif, dinamis, banting tulang,
ikut serta membangun tanpa diperintah. Membangun karena diperintah itu, kan,
watak pemalas.”
Kutipan diatas menerangkan mengenai konflik yang dapat
diketahui melalui penggambaran masalah yang di konflikkan. Kutipan
tersebut menerangkan bahwa masyarakat tidak setuju atas pembangunan gedung dan
hotel yang direncanakan oleh Baron.
2. Pak Amat :
“Amat pulang dengan kepala
penuh sesak. Rasanya tak ada sisa ruang lagi di kepalanya untuk santai. Baron
sudah berjejal-jejal di otaknya.”
Kutipan diatas menerangkan mengenai konflik yang dapat diketahui melalui penggambaran
masalah yang di konflikkan. Kutipan tersebut menerangkan bahwa pak Amat
merasa sedih dan resah karena mendengar.
3. Bu Amat :
“Apalagi kalau
warnet, cafe musik dan lain-lainnya jalan, pemuda-pemuda kita akan keranjingan
nongkrong di situ ngerumpi, lihat video dan gambar-gambar porno. Hunian kita yang
dipujikan asri dan tenteram ini akan ramai dan kumuh. Masak Baron tidak tahu
itu? Kalau tidak tahu, percuma bernama Doktor Baron! Pasti pura-pura tidak
tahu!”
Kutipan diatas menerangkan mengenai konflik yang dapat diketahui melalui penggambaran
masalah yang di konflikkan. Kutipan tersebut menerangkan bahwa
kekhawatiran bu Amat jika dibangun warnet, cafe, hotel dan lainnya makan akan
menyebabkan lingkungan mereka menjadi ramai dan kumuh.
Kesimpulan
Gaya pemilihan tokoh cerpen “Protes” karya Putu Wijaya menggunakan tiga
orang tokoh yaitu Baron, pak Amat dan bu Amat. Baron seorang yang berpendidikan
S3, kaya dan seorang pebisnis, sedangkan pak Amat dan bu Amat adalha pasangan
suami istri yang tidak mempunyai gelar pendidikan, miskin dan rakyat biasa.
Gaya
penggambaran watak tokoh pada cerpen ini yaitu Baron digambarkan sebagai
seorang yang egois, keras kepala, pelit dan licik. Pak Amat seorang yang sabar
dan bijak, sedangkan bu Amat seorang yang emosional dan tegas.
Gaya
penggambaran konflik tokoh yaitu konflik ketiga toko digambarkan dengan
menggunakan masalah yang dikonflikkan. Terlihat bagaimana cerpen ini dianalisi sehingga
diharapkan mempunyai keunggulan dan pengaruh tekstual terhadap sisi reaktif
emosionil pembaca. Kekuatan pengaruhnya ini ditunjang oleh kemampuan teks
mengatur relasi-relasi koheren mapun kontradiktif antar unit satuan wacana dan
pemilihan referensi kontekstual yang memungkinkan dimaknai oleh pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Ratna, Nyoman Kuta. 2013. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra dan Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Teeuw,
A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya
Nurgiyantoro,
Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Junus, Umar. 1989. Stilistika Suatu Pengantar. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Widdowson, HG. 1997. Stilistika dan Pengajaran Sastra
linguistik Terapan dan kajian Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.
https://lakonhidup.wordpress.com/2014/11/23/protes/#more-5112. Diakses pada
2 November 2015.
LAMPIRAN
1. Gaya Pemilihan Tokoh Cerpen
Nama Tokoh
|
Jenis Kel.
|
Usia
|
Label
|
|||
Pendidikan
|
Ekonomi
|
Golso
|
dst
|
|||
Baron
|
L
|
Doktor/S3
|
kaya
|
pebisnis
|
||
Pak Amat
|
L
|
Miskin
|
Rakyat biasa
|
|||
Bu Amat
|
P
|
Miskin
|
Rakyat Biasa
|
2. Gaya Penggambaran Watak Tokoh
Nama Tokoh
|
Watak
|
Cara penggambaran dalam
Cerpen
|
Baron
|
Egois, Keras kepala,
Pelit dan licik.
|
“...Mana ada lagi
rumah-rumah BTN yang sangat, sangat sederhana. Kandang tikus itu bukan hunian
orang merdeka! Ah?! Semua sudah direnovasi habis jadi masa lalu yang haram
kembali lagi. Rata-rata sekarang rumah satu miliar ke atas! Itu baru layak
buat rakyat merdeka! Ah?! Tapi apa semua itu bim-sala-bim, abra-ca
dabra, jatuh begitu saja tiba-tiba dari langit? Tidak Bung! Itulah hasil
kemajuan. Itulah dialektika kemerdekaan yang seharusnya! Karena kemerdekaan
membuat kita tidak puas hanya nrimo, hanya pasrah, tapi kita harus beringas,
bergegas mengusai, tidak puas hanya nrimo apa vonis nasib. Maka wajib
banting tulang, buru, rebut, rampas, buaskan ambisi! Itu sah! Kesenjangan
sosial kalau disikapi dengan ramah-tamah, akan mengunyah. Maka harus ambil
risiko berontak! Iri, dendam, sirik, penting untuk membuat penasaran, lalu
bangkit dan menang! Putar otak, cari jalan, kalau tidak ada, bikin. Segala
cara halal dengan sendirinya, asal buntutnya berhasil. Walhasil, agama kita,
ibaratnya sekarang, sukses! Tidak ada lagi yang gratis. Menghirup udara pun
mesti bayar! Maksud saya udara segar dalam kamar hotel bintang lima! Benar
tidak Pak Amat? Ha-ha-ha!!”
|
Pak Amat
|
Sabar dan bijak.
|
“Ya begitu. Semua pertimbangannya, tak cerna,
sebenarnya cukup masuk akal dan bisa dimengerti. Tapi seperti makan, meskipun
steak tenderloin daging sapi impor, buat orang yang sudah kenyang bisa bikin
muntah. Tapi buat orang yang buka puasa, jangankan makanan steak tenderloin,
teh manis pun seperti air surga!”
|
Bu Amat
|
Emosio-nal, Tegas
|
“Bu Amat mulai kesal.”
“Jangan petatah-petitih terus!
Kalau dia tidak ngerti, pasti karena Bapak ngelantur ke sana-kemari
menyampaikannya. Terlalu banyak pepatah akhirnya lupa apa yang harus
disampaikan!”
“Tapi harus dinyatakan dengan
tegas. Dengan surat resmi, misalnya yang kita tanda-tangani bersama!”
“Kalau betul begitu, kalau dia
mau kita bikin surat resmi, sekarang pun bisa. Bapak bikin suratnya sekarang,
nanti saya minta Pak Agus mengedarkan supaya semua warga tanda tangan! Kalau
tidak mau dijitak. Coba apa saja yang sudah Bapak katakan kepada Pak Baron?”
|
3. Gaya Penggambaran Konflik Tokoh
Nama Tokoh
|
Konflik
|
Baron
|
“Kenapa mesti ribut. Ini, kan, rumah saya, tanah
saya, uang saya?” kata Baron sambil senyum. “Apa salahnya kita membangun? Positif,
kan?! Ini, kan, nanti bisa memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Jadi karyawan, jadi satpam, jadi tukang parkir, dan sebagainya. Paling malang
bisa meningkatkan hunian kita yang mati ini jadi ramai. Itu berarti harga
lahan akan melonjak. Semua akan diuntungkan! Kok aneh! Harusnya masyarakat
berterima kasih dong pada niat baik ini! Kok malah kasak-kusuk! Bilang kita
merusak lingkungan. Itu namanya fitnah! Coba renungkan, nilai dengan akal
sehat! Semua ini, kan, ada aspek sosialnya! Berguna untuk kesejahteraan kita
bersama! Tidak bertentangan dengan Pancasila. Membangun itu bukan hanya tugas
pemerintah. Negara yang sehat itu, masyarakatnya, rakyatnya aktif, dinamis,
banting tulang, ikut serta membangun tanpa diperintah. Membangun karena diperintah
itu, kan, watak pemalas.”
(pengambaran
melalui masalah yang di konflikkan)
|
Pak Amat
|
“Amat pulang dengan kepala penuh sesak. Rasanya tak
ada sisa ruang lagi di kepalanya untuk santai. Baron sudah berjejal-jejal di
otaknya.”
(Pengambaran melalui masalah yang dikoflikkan)
|
Bu Amat
|
“Apalagi kalau warnet, cafe musik dan lain-lainnya
jalan, pemuda-pemuda kita akan keranjingan nongkrong di situ ngerumpi, lihat
video dan gambar-gambar porno. Hunian kita yang dipujikan asri dan tenteram
ini akan ramai dan kumuh. Masak Baron tidak tahu itu? Kalau tidak tahu,
percuma bernama Doktor Baron! Pasti pura-pura tidak tahu!”
(Penggambaran melalui lawan konflik)
|